Minggu, 23 Januari 2022

Apakah Penting Memindahkan Ibukota Negara

Ceritasakti.com - Apakah Penting Memindahkan Ibukota Negara? Tata letak sebuah Ibukota suatu negara adalah salah satu pilihan terpenting bagi seorang pemimpin negara mana pun untuk menentukannya. Di dalam Ibukota Negara biasanya terdapat kantor-kantor penting, markas militer, fasilitas pemerintahan dan seringnya berisi juga kediaman utama pemimpin negara atau Istana Kepresidenan.


Ibukota pada dasarnya adalah otak suatu negara, memilih lokasi dimana negara ingin menempatkan otaknya tentu saja harus menjadi pilihan strategis. Paling sering lokasi terbaik untuk Ibukota adalah suatu tempat yang dapat dengan mudah dipertahankan dan dari mana negara dapat menggunakan kontrol atas seluruh Ibukota tersebut.


Negara perlu melihat dari berbagai perspektif bahwa Ibukota sebagai wujud perwakilan dari seluruh rakyat dan bangsa, harus mudah diakses oleh sejumlah orang sebanyak mungkin dan untuk semua alasan itu Ibukota paling sering dibangun di tengah-tengah sebuah negara.


Tetapi terkadang lokasi Ibukota yang lama pada akhirnya tidak berhasil berjalan lancar bagi negara tersebut. Misalnya pada tahun 2005 Myanmar memindahkan Ibukota mereka Yangoon ke kota terbesar di negara itu menuju Napierda yang berjarak lebih dari 300 kilometer ke utara. Ini dilakukan karena Napierda dinilai terletak lebih sentral di dalam negara Myanmar dari pada Yangoon, dan juga merupakan pusat transportasi yang terletak tepat diantara tiga wilayah yang bergejolak dan memberontak secara kronis sehingga dirasakan bahwa kehadiran Ibukota baru dan militer yang begitu dekat akan membantu meningkatkan stabilitas kawasan tersebut.


Dan selanjutnya dinilai bahwa Ibukota yang lama Yangoon lebih rentan terhadap bencana iklim karena terletak langsung di dekat pantai, seperti yang terbukti pada tahun 2008 ketika badai topan menghantam langsung tempat itu dan membuat luluh lantak tiga perempat infrastruktur seluruh kota.


Dengan kejadian hampir sama Brazil juga memindahkan Ibukota mereka pada tahun 1960 silam. Pada saat itu populasi Rio de Jeneiro penuh sesak, maka Ibukota dipindahkan dari lokasi dekat pantai menuju lokasi yang lebih dalam dan lebih terpusat di pedalaman Brazil yang akhirnya mereka sebut Brazilia. Keputusan ini sebagian besar dibuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pedalaman yang jauh dari pantai dimana ibukota lama berada dan untuk membuat ibukota baru lebih netral secara regional.


Kemudian pertikaian besar terkait lokasi Ibukota di negara Australia pada tahun 1927, ketika Sydney maupun Melbourne tidak dapat menyepakati kota mana yang harus menjadi Ibukota negara dan dengan demikian mereka akhirnya berkompromi dengan membangun Canberra secara tergesa-gesa dari awal.


Sekarang di tahun 2022 ada dua negara modern yang sangat besar yang secara aktif sedang dalam proses relokasi Ibukota mereka dengan berbagai alasan masing-masing.


Yang cukup santer diberitakan adalah Mesir akan memindahkan Ibukota mereka jauh dari Cairo menuju Ibukota baru yang direncanakan masih dalam pembangunan, letaknya sedikit menuju ke arah timur dari Cairo.


ceritasakti.com


Sementara negara Indonesia memindahkan Ibukota sangat jauh dari Jakarta Ibukota saat ini dan memindahkannya lebih dari 1000 kilometer jauhnya ke pulau yang sama sekali berbeda.


Hal ini sangat penting karena Indonesia sendiri adalah negara yang sangat signifikan pesat populasi-nya. Indonesia memiliki populasi 270 juta orang, ini tertinggi keempat dari negara mana pun di dunia setelah China, India, dan Amerika serikat.


Untuk negara sebesar Indonesia ini agak sedikit unik dibandingkan negara China, India, dan Amerika serikat yang merupakan negara yang berada hanya di dalam satu daratan utama. Sedangkan Indonesia berbentuk kepulauan-kepulauan yang saling berdekatan. Sekitar 17.000 pulau yang benar-benar secara harfiah terpisah dan tersebar satu sama lainnya dan setidaknya ada lima pulau-pulau terbesar yang ada di Indonesia yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Barat.


Namun empat pulau besar tersebut tidak terlalu padat populasi-nya dibandingkan Pulau Jawa yang menjadi rumah bagi lebih dari 60 persen dari seluruh penduduk Indonesia yaitu 145 juta orang. Hal ini menjadikan Pulau Jawa adalah pulau ter-padat di Indonesia dan merupakan pusat populasi dan budaya di Indonesia.


Tentu saja Ibukota negara Indonesia telah terletak di Pulau Jawa untuk waktu yang sangat lama dan Kota Jakarta telah menjadi Ibukota yang cukup besar selama berabad-abad. Kepopulerannya di mata dunia pada abad ke-21 berperan penting yang membuat jumlah populasi di Kota Metropolitan ini semakin meroket menjadi sekitar 35 juta orang, yang menjadikan Jakarta adalah daerah perkotaan terbesar kedua di dunia setelah Tokyo.


Selain sebagai Ibukota Indonesia, Jakarta juga merupakan pusat diplomatik negara-negara ASEAN atau Perhimpunan negara-negara asia tenggara, yang lebih mudah dipahaminya sebagai Uni Eropa versi Asia Tenggara. Sehingga bagaimana sekarang orang dapat memikirkan betapa Jakarta mempunyai peran sangat penting sebagaimana Kota Brussels di Eropa.


Meskipun Kota Jakarta adalah Kota Global yang sangat vital dan signifikan maju pesat tetapi ini bukan berarti Jakarta tanpa masalah, yang membuatnya menjadi lokasi yang tidak begitu menguntungkan lagi untuk sebuah Ibukota Indonesia di abad ke-21 ini.


Seperti yang sudah dipaparkan di atas Pulau Jawa adalah rumah bagi 60 persen populasi Indonesia. Sementara luas Pulau Jawa sebetulnya hanya merupakan 7 persen dari keseluruhan luas pulau-pulau yang ada di Indonesia yang berarti bahwa masih ada sisa 93 persen dari daratan Indonesia yang masih berpotensi dikembangkan tanpa memikirkan padatnya populasi seperti di Pulau Jawa.


Selain itu Jakarta dan Pulau Jawa telah berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir dan pulau-pulau lainnya sedikit tertinggal secara ekonomi dan terkesan tetap stagnan. Untuk menggambarkan titik ini ialah sejak tahun 1971 Jawa telah menjadi magnet bagi 75 juta orang sedangkan Sumatera menyerap 38 juta orang, Kalimantan 11 juta orang, Sulawesi 10 juta orang, sementara Irian Barat hanya menyerap 4 juta populasi.


Banyak tempat atau pulau-pulau kecil yang masih sangat jauh dari Jakarta oleh karena itu terkesan ter-isolasi dan jauh dari pusat kekuasaan negara. Jarak tempuh ribuan kilometer lautan bagi pulau-pulau kecil tersebut dan berdasarkan eksklusif pada pemusatan faktor daya, akan lebih masuk akal dari perspektif secara geografis untuk menempatkan Ibukota Indonesia di Pulau Kalimantan atau Pulau Sulawesi. Akan tetapi sudah pasti faktor sentralisasi saja biasanya bukan alasan yang cukup baik dan menguntungkan untuk melewati masalah serumit ini.


Tentu saja perlu ada motivasi lebih untuk mewujudkan proses relokasi tersebut. Salah satu yang bisa dijadikan motivasi besar adalah Jakarta sendiri memiliki banyak masalah populasi sampai sekarang. Pertumbuhan sebuah kota yang sangat luar biasa selama beberapa dekade terakhir.


Melihat kembali pada tahun 1945 saat perang dunia kedua, populasi Jakarta hanya sekitar 600 ribu orang dan lihat bagaimana 25 tahun setelahnya pada tahun 1970 populasi Jakarta telah meningkat 6 kali lipat menjadi lebih dari 4 juta, dan 50 tahun kemudian berlalu pada tahun 2020 meningkat lebih dari 2 kali lipat menjadi lebih dari 10 juta populasi. Sebagian besar karena migrasi internal besar-besaran yang datang dari seluruh pelosok wilayah Indonesia yang mengakibatkan pertumbuhan ini terjadi.


Kota Metropolitan telah mengalami kerusakan ekologis yang substansial disertai padatnya lalu lintas, memperburuk polutan dan menimbulkan kemacetan bagi hampir 4,5 juta unit mobil dan lebih dari 13 juta unit sepeda motor digunakan di jalan-jalan Ibukota. Sedangkan transportasi umum hanya menyumbang sepertiganya saja, termasuk ada 7 pembangkit listrik batu bara dan direncanakan bertambah 5 pembangkit listrik lagi dan semua itu berada dalam radius 100 kilometer.


Mengingat polusi udara, kualitas udara bisa menjadi sangat buruk dan kabut asap di Jakarta sudah masuk kedalam masalah kategori serius seperti yang terjadi di New Delhi dan Beijing.


Kemudian kota satelit terbesar Jakarta seperti Bogor. Dimana banyaknya pekerja bertempat tinggal di Bogor yang berkantor di pusat kota Jakarta. Jarak Bogor 25 mil jauhnya dari Jakarta dalam kondisi lalu lintas normal saja biasanya membutuhkan sekitar 2 jam berkendara untuk sampai Jakarta dan ketika kondisi traffic macet dapat memakan waktu tempuh sekitar 3 jam untuk sampai Jakarta. Hal itu menjadi sangat buruk bagi pejabat tinggi pemerintah yang harus membutuhkan konvoi pengawalan aparat untuk melalui lalu lintas perkotaan demi menghadiri rapat kenegaraan secara tepat waktu.


Populasi Jakarta masih terus tumbuh dan diperkirakan pada tahun 2030 akan ada lebih dari 40 juta orang yang tinggal di wilayah metropolitan ini dan itu sudah melebihi dari jumlah seluruh penduduk Kanada dan dampaknya bahkan bisa melampaui Tokyo.


Di sisi lain Jakarta memiliki sebanyak 13 sungai yang mengalir melalui kota besar ini, yang dulunya menyediakan cukup banyak air bersih tetapi sekarang semuanya sangat tercemar dan saat ini tidak dapat lagi digunakan untuk air minum. Jakarta memang memiliki serangkaian pipa-pipa air bersih tetapi itu hanya mencapai sekitar 60 persen saja dari seluruh populasi-nya.


Masalah air adalah masalah yang paling menakutkan bagi Jakarta. Seperti kebanyakan kota-kota di seluruh dunia yang berada di pesisir pantai lainnya, kota Jakarta juga tidak luput dari ancaman kenaikan permukaan air laut dan ancaman akan tenggelam. 


Masalah di Jakarta sangat mirip dengan kota Meksiko dan Venesia. Seperti kedua kota tersebut perlu di ingat bahwa Jakarta berdiri di atas tanah rawa-rawa berabad-abad yang lalu. Tidak terbayangkan yang dulunya tanah rawa sekarang terbangun puluhan beton-beton besar dan berat sebagai pondasi gedung-gedung tinggi dan belum lagi baja-baja di seluruh permukaan tanah kota yang jelas menambah lebih banyak beban dan tekanan yang terus mendorong tanah rawa Jakarta hingga berada di level jauh di bawah permukaan laut pesisir pada akhirnya nanti.


Perlu diketahui tanah Jakarta sekarang menurun sekitar 1 sentimeter per tahun bahkan beberapa daerah ada yang telah mengalami penurunan sebanyak 25 sentimeter per tahun ke dalam tanah belum lagi banjir yang sudah menjadi masalah kronis yang harus di hadapi Ibukota ini.


Menurut perkiraan beberapa ahli, di masa depan 40 persen tanah Jakarta sudah berada di bawah permukaan air laut dan banyak lagi yang memprediksi bahwa pada tahun 2050 (28 tahun dari sekarang) seluruh Kota Metropolitan akan berada di dalam air seperti Atlantis.


Tetapi pemerintah tidak pasrah dan tentu saja melakukan sesuatu tentang hal ini yaitu wacana proyek besar pada tahun 2014 lalu. Pemerintah Indonesia berencana untuk membuat Tanggul Laut Raksasa yang diharapkan rampung pada tahun 2025. Tanggul laut raksasa berbentuk Garuda yang akan melindungi seluruh kota Jakarta dari banjir rob air laut.


Namun setelah ditimbang dan dinilai kembali dengan akan adanya Tanggul Laut Raksasa tersebut, selain berdampak positif melindungi Ibukota dari ancaman tenggelam karena permukaan air laut, tetapi hal ini sekaligus menjadikan Ibukota akan semakin rapuh karena akan diperlukan konsentrasi tersendiri untuk menjaga dan mempertahankan dengan segala cara agar Tanggul Laut Raksasa tetap utuh dan ini dinilai menjadi sebuah titik lemah baru bagi keamanan pemerintahan dan Ibukota Jakarta di masa mendatang.


Dengan segala faktor negatif yang telah membebani Jakarta tersebut pemimpin negara Presiden Indonesia Bapak Joko Widodo membuat keputusan berani pada tahun 2019 lalu untuk memindahkan Ibukota Jakarta yang pada saat itu masih dalam tahap wacana menuju ke pulau terbesar ketiga di dunia Pulau Kalimantan.


Pulau Kalimantan sebagian besar ditutupi oleh hutan hujan dan berpenduduk tidak padat tetapi memiliki beberapa faktor yang menguntungkan untuk sebuah Ibukota Negara baru bagi Indonesia.


Pertama, pemerintah Indonesia sendiri sudah memiliki sebagian besar tanah yang diperlukan sehingga akan lebih mudah untuk membangun Ibukota baru yang direncanakan. Ibukota Negara baru diharapkan lebih aman dari yang di hadapi Jakarta saat ini seperti masalah populasi, polusi, air bersih, banjir, rob, tanah menurun, tsunami, dan gunung berapi.


Gunung Berapi, geografi Indonesia memang didominasi oleh gunung berapi karena berada pada cincin api (Ring of Fire) dan dari sejarah masa lalu banyak letusan dahsyat terjadi di masa lampau di seluruh Nusantara ini menjadi sebuah bencana paling merusak sepanjang sejarah. Tercatat 2 kali letusan Ter-dahsyat gunung berapi dalam sejarah manusia terjadi di Indonesia saat Krakatau "Njebluk" pada tahun 1883 dan Gunung Tambora pada tahun 1815.


Jauh sebelumnya 74 ribu tahun lalu Gunung api purba Toba di Sumatera meletus mengerikan dan sangat merusak sehingga menyebabkan musim dingin global selama setahun karena abu vulkanik dari letusan menutupi ruang udara dan mungkin saja hampir menyebabkan kepunahan makhluk hidup saat itu.


Seperti diketahui setidaknya terdapat 127 Gunung berapi aktif di seluruh Indonesia dan lebih dari 5 juta orang Indonesia yang tinggal di dalam zona berbahaya letusan gunung berapi.


Sekarang coba lihat dalam Peta Indonesia letak-letak gunung berapi akan terlihat tidak ada gunung berapi aktif di Pulau Kalimantan yang dari sudut pandang geografis tentu lebih aman bagi sebuah otak negara berada disini dari pada di Pulau Sumatera atau Pulau Jawa.


Saat ini yang juga harapan Presiden Joko Widodo bahwa akhirnya Ibukota Negara baru ini akan menjadi rumah bagi 1,4 juta pegawai pemerintahan beserta keluarga mereka. Desain Futuristik telah dipilih untuk gedung-gedung pemerintahan penting seperti Istana Kepresidenan dan yang lain-lain.


Pemerintah juga berharap mulai memindahkan setidaknya beberapa kantor-kantor pemerintahan ke Ibukota yang baru pada tahun 2024. Harapan lainnya adalah mendorong jutaan orang untuk perlahan meninggalkan Jakarta menuju Ibukota yang baru.


Setidaknya itu bisa meringankan beban tekanan yang sekian lama dipikul Ibukota Jakarta dan memberikan waktu berharga yang sangat diperlukan bagi Kota Jakarta untuk pulih dan berkembang sekali lagi di masa depan. (E/S)